Senin, 25 April 2011

Wanita Diantara Pertarungan Tradisi

WANITA DI ANTARA PERTARUNGAN TRADISI
Kartini telah berlalu lebih dari setengah abad yang lalu. Antara waktumya dan waktu kita saat ini sudahkah cita-citanya tercapai ? Dulu kartini berjuang agar muslimah bangsanya mendapatkan hak pendidikan yang layak, sudahkah wanita muslimah masa kini mendapatkan hak-haknya berupa pendidikan yang baik, jaminan penjagaan yang baik oleh keluarga maupun masyarakatnya?.
Di pelosok Indonesia masih saja anak perempuan harus mengalah dengan anak laki-laki ketika orang tua mereka tidak dapat menyekolahkan keduanya. Lebih banyak lagi wanita muslimah yang mengira ia harus ikut membantu ekonomi keluarga sehingga mereka harus banting tulang berjualan dari lorong ke lorong kampung, atau membanting tulang berpanasan di sawah.
Di desa, wanita tak punya hak ekonomi kecuali sebagai pelaku. Mahar dikuasai orangtuanya, upah kerja diambil suami. Masih banyak remaja putri yang dinikahkan tanpa ditanya apakah ia setuju atau tidak dengan calon pilihan ayahnya, bahkan masih ada yang “dijual” kepada calon suami agar sang ayah melunasi utangnya. Bahkan mereka sering menjadi korban perceraian sewenang –wenang, tanpa sebab dan perlawanan. Atau bahkan tidak jarang pula mereka hanya ditinggal begitu saja oleh suami, dibebani anak-anak yang lapar dan haus kasih sayang.
Merekalah yang kemudian terlempar ke negeri seberang menjadi TKW atau buruh pabrik, dihina majikan dan diganggu para lelaki hidung belang, tanpa perlawanan, tanpa perlindungan. Bahkan Negara tidak dapat membela mereka, mereka yang sebenarnya adalah “para pahlawan devisa”. Innalillahi.
Di sini , di kota, para wanita modern menganggap pergi bekerja sebagai sebuah keharusan. Kata mereka, berkarir adalah sebuah konsekuensi pendidikan tinggi yang telah diperoleh. Sebagian lagi beralasan, mereka harus mempunyai karir sendiri, agar mempunyai eksistensi sebagai pribadi yang utuh, dan “pengakuan” dari orang lain. Seolah jika hanya di rumah mereka akan dianggap wanita tak berharga. Tinggallah anak-anak dibesarkan oleh pembantu yang tak kuasa mendidik bagaikan seorang ibu karena umumnya berpendidikan rendah.
Anak dibesarkan oleh program-program televisi dan games. Terekspos oleh budaya kekerasan, pornografi, budaya kurang ajar, konsumtif dan hedonistik. Para ibu dan bapak tak sadar lagi akan tanggung jawab mendidik anak, kecuali pada saat pengambilan rapor. Jika rapor ‘kebakaran”, penyelesaiannya adalah ikut les atau kursus private ! Jika rapor biru amanlah sudah, tak perlu dipikirkan lagi. Kehidupan perkawinan pun berubah. Bapak dan ibu tak lagi punya waktu makan bersama, kecuali sepekan sekali ke restoran mungkin. Para suami akan dibiarkan termangu-mangu di serambi rumah jika saja ia harus pulang lebih dahulu dari istrinya dan ia hanya akan menemui rumah yang dingin dan sepi.
Kehidupan suami istri yang bekerja kian renggang. Masing-masing punya teman sendiri, kesibukan sendiri dan akhirnya memilih untuk apa-apa sendiri. Kisah-kisah tentang WIL (wanita impian lain) dan PIL (pria idaman lain) sudah menjadi kisah sehari-hari yang tak terhitung.
Para wanita modern punya 1001 kesempatan untuk sibuk di luar rumah. Dari arisan sampai kunjungan sosial, dari raker kantor sampai makan siang bisnis. Majalah-majalah yang khusus diperuntukkan bagi wanita karir semakin menjamur. Di dalamnya berisi segala macam ocehan tips seputar kehidupan bekerja dan segala konsekuensinya. Dari bursa busana sampai babby sitter. Bahkan untuk rubrik konsultasi keluarga, budaya permisif semakin menonjol. Wanita kota “melesat ke luar rumah tanpa kendali”.
Prototipe wanita desa ( sebagai wanita yang dikungkung budaya tradisional ) dan wanita kota ( yang sarat pengaruh budaya barat yang serba liberal ) adalah dua sosok yang kitab hadapi kini di Indonesia. Muslimah di desa masih harus berjuang untuk kebebasan dan hak- hak dirinya sebagai wanita dan sebagai muslimah, sementara muslimah di kota , yang dibesarkan dalam budaya sekuler justru masih perlu diingatkan akan hak-hak keluarga atas dirinya dan masih perlu disadarkan bahwa wanita islam bukan wanita liar yang meneriakan emansipasi dengan kesamaan total antara laki-laki dan perempuan.
Singkat kata, muslimah modern di kota justru harus diingatkan akan batasan-batasan kebebasan dalam bingkai nilai-nilai islam. Syekh Yusuf Qardhawy menyinggung bahwa muslimah dewasa ini harus dibebaskan dari dua belenggu tradisi :
Pertama, tradisi yang berasal dari budaya masa-masa kemunduran islam yang mengekang dan merampas hak-hak wanita dengan mengatasnamakan islam sambil menyembunyikan ajaran-ajaran Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam yang lurus. Budaya yang ada di masa para penguasa bergelimang nafsu dan memerintah umat atas nama nafsu , yang sayangnya, terus mengatasnamakan islam.
Kedua, tradisi barat yang serba boleh dan liberal dengan konotasi melepaskan semua tradisi dan nilai yang dianut wanita muslimah. Saat ini justru setiap penguasa di setiap negeri membebaskan sebebas-bebasnya nafsu masyarakat dengan dalih demokrasi dan hak asasi. Budaya dilandasi faham sekulerisme dan materialism. Segala sesuatu diukur dengan keberhasilan materi, Jika tak menghasilkan uang berarti tidak produktif. Yang oleh karena itu memandang amat rendah pada tugas-tugas Ibu Rumah Tangga yang mengasuh anak dan mengurus suami serta berusaha agar semua tugas itu dapat seluruhnya digantikan oleh mesin. Keduanya saling menyerang, sambil keduanya justru berusaha menyudutkan nilai-nilai islam yang sebenarnya.

Dalam AL-Qur’an ALLAH telah berfirman :
“Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki ? maka hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum ALLAH ?”. (Qs. Al-Maaidah :50 )
Dalam surah lain ALLAH berfirman :
“ Andai kata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada didalamnya.Sebenarnya kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggan (Al-Qur’an ) mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggan itu” . (Qs. Al- Mu’minuun : 71 )
Memang kedua kutub tersebut amat bertentangan dengan islam itu sendiri. Islam yang ”rahmatan lil alamin” ( membawa rahmat bagi seluruh alam) , Islam yang “ummatan wasathan” ( umat yang pertengahan, tidak ekstrim kiri maupun kanan ) dan Islam yang akan jadi sokoguru alam semesta. Islam yang nilai-nilainya memuliakan wanita, mensucikan wanita, mencerdaskan wanita dan mendudukkannya di tempat yang seharusnya : sebagai ibu bangsa, perawat akidah dan akhlak umat sejak dalam buaian, sampai menjadi pembangun bangsa, guru masyarakat dan juru damai di tengah umat manusia dengan kelembutan dan kearifannya.
Sambil tetap tegar dan istiqomah di jalan keimanan, kita tunggu serombongan da’iyah (para da’i wanita) yang akan keluar masuk kampung,kampus dan kantor untuk menyadarkan saudara-saudara muslimahnya akan cita-cita Kartini. Masih kita tunggu wanita-wanita lemah-lembut yang sanggup mengangkat muka di depan penguasa zalim untuk membela hak-hak kaumnya. Masih kita tunggu ibu-ibu bijaksana yang sanggup menyuapi anak-anak miskin terlantar di kolong-kolong jembatan sambil mengajarkan mereka baca tulis al-qur’an dan ilmu-ilmu agama.
Semua itu bisa dimulai dari rumah. Mulailah dari rumah kita sendiri untuk mendidik generasi penerus yang akan menjadi pemenang supremasi dunia. Mulailah dari rumah tempat tinggal kita meluas ke rumah tetangga. Mulailah dari masjid-masjid sebagai rumah-rumah ALLAH untuk menyusun strategi dakwah. Mulailah dari rumah-rumah ilmu seperti kampus-kampus untuk mencerdaskan umat. Mulailah dari rumah!.
“Rumah adalah sekolah pertama”.
(Al-Hadits)



“ JANGAN LIHAT MASA LALU DENGAN PENYESALAN. DAN JANGAN PULA MELIHAT MASA DEPAN DENGAN KETAKUTAN.TAPI, LIHATLAH HARI INI DENGAN PENUH KESADARAN ”.